SOCIAL MEDIA

Jumat, 05 Agustus 2022

Di bawah langit merah malam mulai mengintai

Ketika kamu membaca ini, percayalah bahwa ini adalah senja paling indah dalam jiwaku. Aku memutuskan menulis ini di antara senja yang begitu indah di sepanjang perjalanan menuju matahari terbenam, dan saling tarik menarik antara pikiran satu dengan pikiran yang lain, di antara marilah mendirikan sholat dan wajah lelah bapak-bapak pulang dari berdagang siomay. Ada hujan yang tertahan, ada pawai yang enggan berjalan, ada yang muram di wajah pawang hujan yang hampir menyerah.

Petugas security di seberang jalan lagi menikmati kue donat buatan istrinya sambil memanaskan motor untuk berangkat kerja. Begitu sublim. Merebus telur setengah matang, kopi susu, kratingdaeng, dua mangkok pop mie. Tuhan memanggil dan mereka bergeming. Mungkin sambil membayangkan wajah-wajah asing. Bengkulu adalah kota yang lain, yang memangkas waktu dan menyajikan padamu di sebuah pantai panjang. Lengkap dengan berry fruits, cheese, dan crackers.

Gambaran persis seperti ini yang ingin kubawakan kepadamu supaya kamu mengerti bahwa hidup tidak pernah terdiri dari satu kemungkinan saja. Ada kemungkinan-kemungkinan lain dalam peradaban yang membawa aku kamu kepada aku kamu lain yang terus saja mengantri seperti loket kereta lebaran. Mengular dan payah sambil membayangkan kampung. 


Lihatlah betapa kota menampung orang-orang dengan banyak pikiran, dan traffic light membagi pemotor-pemotor kepada tujuan yang tidak pernah absolut. Waktu begitu liat dan berjalan pelan pada detik kamu membaca ini, hatimu akan berdegup tiga kali lebih kencang dari kebiasaan. Itulah.

Percayalah bahwa dunia ini seringkali mentok pada ide ketimbang kenyataannya. Ide bahwa seseorang akan mencintaimu sepanjang hayat, ide bahwa semua hal baik-baik saja tergantung dari sudut mana seorang penjual siomay menghabiskan dagangannya di musim hujan. Sedangkan jauh di rumahnya, istrinya yang hamil menunggu surat, telpon, atau kabar apapun yang menyenangkan.

Oh dan Adzan memanggil lagi. Anak-anak kecil dengan riangnya menuju ke masjid untuk segera shalat.

Benarkah kamu akan membaca ini? Seperti di masa lalu ketika seorang menulis surat dan memasukkannya ke dalam toples gelas dan melarungnya di pantai-pantai Eropa Selatan, Eropa Tengah, dan Eropa Timur. "Hey, ini bukan gallery di Venice yang putih dan fokus, ini adalah sebuah escapade yang blangsat dan kelewatan.."

Dalam jarak dan ruang lumpang kamu tahu bahwa aku sangat-sangat mencintaimu sedalam itu, mungkin kamu peduli tapi tidak sampai hati. Atau kamu memilih untuk menangkis dan menganggap itu adalah gagasan buruk yang tak pernah hidup di pikiranmu sebab sudah layu dia tak pernah disiram dan kamu harapkan begitu.

Mungkin kamu salah dan mungkin kamu benar. Mungkin aku salah dan mungkin aku benar. Bahwa justru kamu punya pikiran yang kebalikan. Aku tidak pernah mencintaimu semengakar itu, dan ini merupakan mantra pertama setelah bangun tidurmu. Setelah malam yang sekali lagi terlewat dalam sekian tahun hidupmu yang curam.

Kamu tahu bahwa dalam sebuah kisah kasih aku adalah pemain gitar yang hebat, penanak nasi paling pulen, tapi bukan pemasak nasi goreng dengan rasa yang konsisten. Susah, bukan? ketika semua bau rindu menguar jauh-jauh keluar dari dimensi-dimensi waktu yang kita tak pernah sepakat untuk memasukinya bersamaan, aku lekas menangkap semuanya ke dalam plastik transparan. Menusuknya dengan tusuk gigi dan mengempiskannya di kelima inderamu, sampai kamu bergidik. Inilah yang orang sebut dengan kangen. Sungguh aku percaya itu.

Mungkin kamu akan pergi sekeras kamu mau tapi satu yang kunasihatkan bahwa janganlah pernah kamu kembali sebab aku adalah ide terbaik tentang cinta yang sempurna di kepalamu, tapi realitas paling buruk yang tidak akan kamu alami. Catat sungguh-sungguh ya.


Hmmmm

Sudah gelap dear you, maka selamat malam :)


Ditulis: Fanni Indra Pratama


Tidak ada komentar :

Posting Komentar