Kamis, 31 Maret 2022
Senyuman bapak ibu di akhir maret
Selasa, 29 Maret 2022
Merindukan ramadhan yang dulu
Fuck lah buat segala kondisi yang menyebalkan seperti ini. Ini kali ketiganya kita merayakan puasa di tengah pandemi yang tak kunjung usai. Pandemi yang tak aku inginkan mungkin juga tak kamu harapkan hadirnya. Menyerang segala lini, segala sisi, bahkan di hari-hari kita pun terampas olehnya.
Kesel, marah, tapi engga tahu mau marah ke siapa. Entah ini sebuah teori konspirasi seperti sebagian orang katakan, ataukah ini memang sebuah cobaan untuk umat bumi, yang jelas kita semua tidak tahu aktualnya. Mungkin juga alangkah baiknya kita tidak berprasangka yang kita tidak tahu, sikap baiknya kita harus menjaga diri dan mungkin juga orang-orang tercinta.
Seperti biasa, ramadhan di tengah pandemi tak se-ramadhan yang lalu-lalu buatku pribadi mungkin juga buatmu. Bulan yang selalu kita nantikan tiap tahun harus dilewati dengan sebuah pandemi yang bajingan ini. Hari-hari dipenuhi kegaduhan, sikap orang-orang yang merasa tidak peduli dan hilangnya kemanusiaan atas dasar pandemi. Adakah yang lebih buruk dari situasi ini? Entahlah, yang jelas selama aku bernyawa inilah situasi yang mungkin paling buruk di kehidupanku menggeser kesedihan-kesedihan yang tak penting mungkin buatku juga buat orang lain.
Mengingat kembali suasana bulan Ramadhan sebelum ada pandemi, setiap sore setelah ba'da ashar pasti kita selalu keluar dan jalan- jalan bersama teman hanya untuk menunggu jam buka puasa, ada yang setiap sore pergi beli takjil bareng keluarga sambil jalan-jalan, ada juga sebenarnya merindukan sepakbola di bulan ramadhan. Masih ingat betul ketika sepakbola di bulan ramadhan yang lalu sangat riuh. Bocah kecil tanpa alas menendang bola kesana kemari. Bodo amat dengan sepasang sandal yang menjadi tiang gawang, yang jelas teriak gol adalah kebahagiaan tiap bocah kala itu dan adzan magrib jadi pertanda permainan selesai. Kita juga merindukan bagaimana setelah shalat teraweh berkumpul di halaman mesjid sambil berbincang- bincang sama teman, terus menjelang sahur bangunin warga dengan alat musik dol yang kita bawa keliling komplek, setelah shalat subuh kita sering jalan-jalan atau lebih dikenal "asmara Subuh" dan banyak lagi kenangan yang sulit diungkapkan. Hmmm Tapi apa boleh buat, pandemi semua yang menghapus segala hal mengenai itu. Kita kehilangan kenangan itu, kehilangan suasana itu, dan kehilangan semuanya. "Ya Tuhan, redakanlah situasi yang tidak diinginkan ini, yang jelas aku mungkin juga kebanyakan dari mereka menginginkan kenikmatan-kenikmatan seru di bulan ramadhan." doa dan harapan dariku, dan semoga itu juga dari kalian. Tapi ya sudahlah, kita terima saja situasi ini dengan legowo meskipun ungkapan kotor tetap terucap.
Mari berdoa untuk siapapun yang berjuang melawan semua ini, yang belum vaksin jangan lupa vaksin, jaga orang-orang di cintai. Semoga keadaan lekas membaik dan sehat selalu. Respect setinggi-tingginya untuk tenaga medis yang menjadi garda akhir dari semua ini. Mari bersama melawan situasi yang fuck lah ini, saling merangkul, bergandeng tangan, saling menguatkan satu dengan yang lain. Lekas membaik bumiku, jika memang ini cobaan ya jangan lama-lama.
Oh keadaan lekaslah membaik, izin kami berjumpa kembali sesegera mungkin..
Marhaban ya ramadhan..
ditulis oleh: Fanni Indra Pratama
Jumat, 18 Maret 2022
Ingatlah hari ini
Kamis, 17 Maret 2022
Bengkulu umurmu bertambah lagi
Selasa, 08 Maret 2022
Rindu yang tak pernah membutuhkan pertanyaan
Untukmu Rahmi, bila dirimu merasa tidak mau membaca surat dariku, tak mengapa, biarkan ini menjadi surat kosong yang mentah begitu saja. Biarlah ini jadi surat yang kubuat dalam hening bersama musim kemarau yang daun-daunnya sedang berguguran.
Kamu tentu tahu kenapa aku menyukai ONE OK ROCK. Benar, karena seperti sering kubilang, OOR selalu menyanyikan lagu- lagu sedih yang bikin rindu. Aku tak pernah memilih rindu, tak pernah memilih kenangan mana yang harus menyeruak dan tiba-tiba masuk dalam satu lesatan panjang pikiranku.
Rah, mengagumimu dalam sunyi adalah pilihan yang ringan dan mudah. Kamu perlu tahu ini.
Aku selalu mencintai dengan sungguh-sungguh, berkali-kali jatuh, berkali-kali bangkit dan berkali-kali pula belajar. Padamu kalimat barusan adalah ungkapan serius. Rah, di mana ada kenangan yang manis, tentu tumbuh rindu juga di sekitarnya. Hampir seperti semut tak tahu malu yang selalu berjalan di tembok belakang rumahku. Maka biarkan aku bercerita kenapa rindu yang sialan itu mampir juga hari ini.
Kamu tahu, aku kerja sepanjang sore sebelum menghabiskan malam di warkop dekat rumahku dengan lagu-lagu playlist buatanku. Aku selalu memikirkanmu, memikirkan sifatmu yang dingin itu, memikirkan kenapa rindu selalu datang padahal tak pernah di undang, sampai-sampai puisi yang aku buat bisa menghabiskan dua halaman hanya untuk memikirkanmu.
**
Bila di antara kita tak ada pesan yang mampir, biarkan kita menikmati itu sungguh-sungguh seperti menikmati secangkir teh hangat di pagi hari. Bila kesepian itu datang terus di kamarmu, marilah keluar kamar untuk sekadar melihat betapa pasrahnya daun yang masih ada di ranting pohon. Cinta itu mahal Rah, tapi beberapa diobral sangat murah, seperti pertemuan kita kemarin, singkat. Rindu pun juga sangat menjengkelkan.
Tapi biarkanlah, biarkanlah kuselesaikan puisi ini dengan tidak membayangkanmu. Hahaha tapi hei! Kamu perlu tahu, aku selalu punya surat buatmu, surat yang tidak punya tekad untuk sampai padamu sejak kalimat pertama.
Perjalanan tak tergantikan
Rahmi lihatlah seekor semut
yang berjalan di pohon mangga
depan rumahmu
Ia berjalan dengan langkah pendek
dan rasa kangen yang panjang
kepalanya tegak, tak tunduk
berjalan sejauh mungkin
Bila sehari saja kita bisa
menjelma seperti semut
kurasa kita mempunyai banyak cerita
dan bahagia untuk berdua
Kita akan menikmati
proses perjalan yang panjang
Perjalanan tak tergantikan
Perjalanan yang sulit dilupakan
Perjalanan cinta yang semestinya kita wujudkan
Selesai perjalanan ini barangkali
kamu akan terus menjaga harapan
menjaga ingatan
dan seperti cerita babi ngepet
melindungi kenangan dari angin dan lilin padam
Ditulis oleh: Fanni Indra Pratama