Hey kamu, sini, kemarilah. Duduk sini disebelahku dihadapan meja yang penuh kesepian, agar sepasang mata kita sama terjaga..
Masih ingatkan permainan dadu yang sering kita mainkan dulu? Masih ingatkan? Ditanganku ini ada sebuah dadu yg ingin kumainkan denganmu.
***
Masih ingatkan aturan mainnya? Yaudah kalau lupa aku jelasin lagi aturan mainnya begini, ketika dadu ini keluar genap, aku punya kesempatan untuk bertanya, tetapi ketika dadu ini keluar ganjil, aku akan jawab apapun pertanyaanmu. Apapun.
Gimana? Cukup adilkan?
Oke, kita mulai!
Kukocok dadu ini, aku pandangi matamu lama-lama dengan perasaan yang sama.
***
Genap, berarti ini giliranku.
Aku sudah tidak sabar untuk bertanya, sebab kita sudah lama tak bersua, dan kabar di antara kita cuma mampir seperti hujan panas yang turun hanya di bulan Oktober.
"Kenapa."
Kenapa satu kata ini selalu keluar sejak awal pertanyaan. Kenapa ini terus saja mengganggu pikiranku tentang kamu.
Kenapa, jika kamu memang menyayangi aku, sampai semuanya itu kita tempuh, kamu memilih menyudahinya baik-baik? Bukankah, bila kita menyudahinya baik-baik, ada yang tak akan hilang di antara mata kita ini.
Bukankah, menyudahinya buruk-buruk justru akan membunuh kisah di ingatan kita sejak menit pertama kita memutuskannya? Paling-paling kita hanya akan bersedih dengan kenangan manis, sesudah itu bangkit lagi menuju realita hidup yang lebih nyata. Dan kita akan lebih sejahtera di jiwa dan di batin setidaknya ada yang lebih tepat di situ."
Matamu kuat. Dua matamu tak berkaca-kaca sedikit pun dengan pertanyaanku, sama kuatnya dengan mulutmu yang manis itu. Pandanganmu fokus, tidak ada kesan gelisah apalagi gugup. Kamu, kuakui, sehari lebih serius dari biasanya, dua hari lebih dewasa dari biasanya, dan dua tahun lebih jauh dari biasanya.
Kemudian kamu mulai bicara..
"Fan, kamu pernah bilang, bahwa cinta itu berlaku hari ini dan seterusnya. Kamu adalah episode cinta yang panjang, tapi bukan episode yang terus menerus. Aku menghargai puisi-puisi dan lagu-lagu yang kamu buatkan untukku, tapi aku harus jujur, aku tidak bisa hidup di cinta yang kelewat melankolis. Aku tidak bisa Fan. Sebenarnya sudah lama mau mengutarakan ini tapi belum ada keberanian.
Kamu sendiri pernah bilang bahwa cinta di antara kita ini sederhana. Pokoknya, di antara kita tidak perlu ada yang diperjelas. Kenapa aku harus mengatakan ini? Karena kamu tahu, bahwa aku bukan orang yang mudah mati rasa. Aku bisa sewaktu-waktu peduli lagi, dan bisa mampir kepadamu tanpa membangun cerita lagi. Tapi, aku egois dan kamu tahu ini. Kamu sendiri yang mengajariku untuk berlaku tidak adil."
***
Aku senang dengan jawaban dan kejujuranmu. Aku menghargai itu. Kamu memang perempuan yang selalu serius. Kamu adalah sesuatu yang lain, perempuan pintar yang sulit di atur. Dan lebih penting dari itu, aku bersyukur kita masih punya waktu untuk bertemu begini. Bertukar dendam secara baik-baik. Bukankah itu hal yang magis?
***
Sekarang giliranmu mengocok dadu, kamu menahannya agak lama di tangan kananmu. Kamu melakukannya sambil menggumam lagu ONE OK ROCK "Heartache" yang dulu sering kita nyanyikan.
Genap lagi, giliranku lagi, apakah adil? Aku punya banyak pertanyaan, sih? Masa dari tadi kocokan ini tidak ganjil?
Tapi kita sudah menyepakati permainan ini sejak awal. Kamu menyuruhku bertanya lagi, maka aku akan bertanya dengan senang hati.
"Jadi, apa yang kamu maksud dengan cinta yang sebenarnya? Misal, seandainya kamu merasa sudah menemukannya tapi kemudian sadar bahwa itu adalah cinta yang salah, dan sialnya aku akan menolak jika kamu kembali?"
Kamu tersenyum, tidak menampakkan muka cemas atau gugup, kamu hanya menunjukan senyuman manismu, seolah-olah ini pertanyaan biasa yang bisa muncul kapan saja di hidupmu, dan kuyakin betul kamu menganggapnya begitu. Kamu mulai menjawab lagi.
"Pertanyaan yang berat amat fan, jujur, kamu menonjokku tepat di tenggorokan, jadi aku agak kurang siap dengan posisiku sekarang ini, tapi tentu akan kujawab pertanyaanmu"
"Menurutku cinta adalah proses pengalaman yang bijak, kamu hanya bisa menjawab ketika kamu sedang meraskannya. Aku sudah curiga, sejak awal pertanyaanmu, aku yakin kamu hanya mau menjebak saja, kamu tahu kalau cinta itu tidak pernah ada deskripsinya di kamus kita yang serba terbatas. Aku sudah menemukan pria yang kurasa jauh lebih menyenangkan darimu, jauh lebih cerdas darimu, jauh lebih sabar darimu, dan jauh lebih paham situasi darimu, dan jauh lebih dekat darimu.
Jauh lebih semuanya daripada kamu. lagi pun ini penting, jauh lebih dekat. Dari semua hal, ini paling penting. Aku bukan perempuan yang bisa menahan rindu lama-lama, sementara kamu terus meyakinkanku untuk bertahan dengan puisi romantismu. Tai kucing, kan?
Aku tahu kamu anak pertama, punya watak yang keras dan tak mau kalah, aku juga sama. Aku yakin, jika kita tahu bahwa cinta ini sungguhan, di antara kita tetap akan memilih diam. Iya, kan? Aku tahu kamu, tahu sekali.
Selama ini pun kita tak pernah membahas hal ini setiap pertemuan, kita memikirkan apa yang terjadi besoknya. Whatsapp, video call dan surat, sudah berhasil menciptakan kita jadi robot. Robot yang dingin dan tak peka. dan ketakpekaan ini kurasa adil. Kita memang tak punya rasa sayang yang besar dan seluas itu. Kalaupun ada, aku memilih menenggelamkannya pada nasib. Aku tak akan mencarimu, sampai sini paham?"
***
Wow, nada bicaramu sudah meninggi. Hmmm asal kamu tahu aku jatuh cinta padamu bukan tanpa sebab. Aku jatuh cinta padamu sebab alasan yang banyak: Sebab kamu lucu, sebab kamu pintar, sebab kamu anak pertama yang manja. Perempuan manja selalu di kangenin. Mendampingi perempuan manja, kurasa akan membuatku nampak seperti pahlawan yang siap menjaga orang yang di cintainya.
Tapi kamu benar. Nasib adalah kata-kata paling puncak sejak ratusan tahun lalu. Sejak bumi ini masih hijau, dan kita akhirnya bertemu di sini, di tempat yang sering kita kunjungi dan kita memang mengisi ketersambungan nasib sejak dunia dijadikan.
Sepertinya kamu sudah lelah dengan dua kali permainan dadu ini. Aku pun belum punya lagi pertanyaan. Dan kamu sepertinya tak peduli pada fakta bahwa kamu belum bertanya apa-apa padaku. Tapi jujur, aku takut ditanya, aku takut tak punya jawaban sebaik jawabanmu.
Tapi yasudahlah kita selesaikan permainan dadu ini seperti hubungan kita. Eh bukannya hubungan kita sudah lama selesai? Maksudku kenangan kita.
Oh ya undangan pernikahanmu sudah kuterima tapi belum kubaca, aku belum siap untuk kecewa kedua kalinya. Doaku masih sama, semoga pernikahanmu lancar tanpa hambatan, dan dia selalu menjagamu. Sampai kapanpun
Sekarang pulanglah, langit sudah merah malam pun mulai mengintai dan dia sudah menunggumu.
Aku pamit ya, sampai bertemu di lain waktu.
|
Dokpri |
Ditulis oleh: Fanni Indra Pratama