SOCIAL MEDIA

Sabtu, 14 Januari 2023

Setidaknya perpisahan tidak mengajarkan untuk saling melupakan

Surat kecil itu terselip di saku celanaku. Ia memberi itu ketika kami baru saja berpisah dan ia marah besar. Di antara kami tak ada dendam yang terus atau rasa pahit yang panjang. Tapi seperti semua kisah kasih, ia pergi jauh setelah kami berpisah. Ia enggan membalas whatsapp ku, enggan mengangkat telponku, aku juga kecewa dengan perpisahan. Seperti kekecewaanku pada semua ucapan selamat tinggal. 

Sejauh kamu mengayuh sepeda tua, sejauh itu pula kamu akan menemukan rumah baruku. Rumah luas di sekitaran hutan, jauh dari keramaian, jauh dari peradaban, termasuk kegelisahanmu yang luar biasa sengit. Aku tinggal di rumah yang jauh sekarang, sejak perpisahan kami, segalanya tampak jauh lebih biasa dari apapun sebelumnya.

Sejak malam itu, aku dan dia tidak pernah berkirim kabar lagi. Kami dulu sering video call tiap malam, bercerita, tertawa dan bersenang menjelang terangnya bulan purnama. Jauh sebelum beberapa hari sebelum perpisahan kami, ia mencoba mengucap kata-kata sederhana. ''Aku akan selalu mencintaimu, akan selalu begitu.''

Kamu tahu, ia punya suara lebih halus dari batik sutra yang biasa dibeli ibu di pasar pagi dekat rumah. Walaupun sudah lama tak berkomunikasi, dia tetap menggelisahkan, mengecewakan, dan menyakitkan. Lebih menakutkan dari macan manapun yang akan kamu temui di hutan. Aku terlanjur ingin melupakannya dan sebisa mungkin membuang wajah dan ceritanya jauh-jauh dari pembuangan sampah paling jauh yang mungkin kamu jangkau. Tapi itu tak bisa, tak semudah itu, dan sulit. Menjelang perpisahan kami, ia bisu. Ia memang tak banyak bicara, suka memandang bintang ketika orangtuanya sudah terlelap, atau ketika orang-orang kampung selesai ronda malam. Mungkin ini pertanda bahwa hubungan yang rumit ini harus diselesaikan. 

Beberapa bulan setelah perpisahan, kami dipertemukan lagi pada siang yang panas, ketika para ibu melarang anak-anaknya minum es coklat tapi mereka sendiri melanggarnya.  Sejak perpisahan itu aku membencinya, sangat membencinya. Kamu tahu, akan sulit memaafkan kekasih yang tiba-tiba pergi sedang ia sadar kamu masih mencintainya. Tentu, aku masih mencintainya ketika kami berpisah. Ia sangat tahu hal ini.

Sebenarnya aku tak langsung bisa melupakannya. Aku rajin pergi ke pameran buku, membeli beberapa buku motivasi cinta dengan judul yang memberimu harapan untuk bangkit. Bangkit dari Keterpurukan, Lekas sembuh dari luka hati, Sebuah seni untuk bersikap bodo amat, dsb. Dari semua itu, aku paling suka "Cara berkomunikasi lewat Bathin." Aku gemar berdo'a, menyukai do'a sejak kecil. Sebab lewat do'a, aku percaya bahwa segala harapan dan umpatan banyak orang bisa sampai kepada siapa saja yang mendengarnya. Entah itu jin, hantu dan malaikat, dan segala hal yang gaib. 

Sejak aku merasa diri paling berdosa, aku tak pernah menganggap do'a ku langsung sampai ke telinga Tuhan. Paling tidak atas ketabahan mengharap sesuatu, pesan itu disimpan dulu oleh malaikat dan entah disampaikan pada Tuhan beberapa saat kemudian. Tapi itulah, buku komunikasi bathin ini mengingatkanku pada do'a. Katanya, yang perlu kamu lakukan adalah menyebut nama kekasihmu secara berulang, nanti suaramu akan sampai juga pada orang yang kamu cinta. Ini hal yang penting, pikirku.

Sampai sekarang aku suka menyebut nama kekasihku dalam hati, sebelum akhirnya kami bertemu hari kemarin. Biasanya, penyebutan nama ini akan berefek langsung hari itu juga, detik itu juga, dan siang itu juga. Tapi kemarin ini tak biasa. Kami bertemu di sebuah kedai kopi dekat pantai tengah kota. Kedai yang tak lekang di makan zaman sejak masa kami pacaran. Di sana muda-mudi biasa beradu pikir. Wajahnya masih sama, matanya masih coklat dan bibirnya yang menyenangkan juga tetap tinggal. Aku ada di antara rasa-rasa semrawut, gelisah, tak karuan. Setelah beberapa tahun aku cuma menghubunginya lewat bathin.

Mantan kekasihku masih sama seperti dulu. Sendirian saja bersama senyuman kecil. Aku memberanikan diri menyapanya. “Kamu tahu, wajahmu banyak berubah setelah kita berpisah.” Aku basa-basi membuka percakapan sambil memandang matanya jauh ke dalam, seakan-akan beberapa tahun di antara kami hanyalah peristiwa barusan. 
"Kamu masih saja tak sopan seperti dulu, Fan." Ia membalas pembukaanku dengan suara lirihnya yang khas. Ia adalah perpaduan Bengkulu-Lebong yang meledak-ledak sekaligus halus. Ingin diakui sekaligus tak ingin pamer. Aku maklum, keluarganya memang berasal dari keturunan raden. Kami berbincang di meja kecil setelah obrolan kami tadi. Belakangan ku tahu dia sudah punya pacar, pacarnya seorang pegawai bumn di Ibu Kota. Untuk menjadi pacar yang baik, kamu cuma perlu setia dan bekerja. Lagian, siapa mau diberi makan cinta?

Ia kubiarkan tak tahu soal hidupku. Di umurku sekarang ini, aku takut mencintai orang yang salah. Aku selalu pergi ke tempat sepi yang tidak ada keramaian, hanya untuk berdo'a kepada tuhanku. Supaya aku bisa lupa segala hal yang membuatku sedih dan terpuruk, tapi percuma, ku kira, aku tak perlu lagi terasing dan mengurung diri untuk melupakan sesuatu. Aku cuma sulit memaafkan diriku dan dirinya yang ketika itu tak buru-buru berusaha bertahan. Bertahan dari segala hal yang masih tinggal.

Semoga akhirnya kamu bisa membayangkan, seberapa sulit untuk melupakanmu. Sepasang mata yang gelisah menahan sesuatu. Kupandang terus hari itu. Sampai matanya tertutup rapat, begitu gelap. Dalam sejam ia jadi patung yang terbentuk secara sumir. Di kedai kopi ia jadi manekin paling cantik untuk edisi bulan Januari. Dan diriku, seperti banyak orang tahu, masih jadi orang gila yang menghabiskan sisa hidupnya untuk kesia-siaan yang tak banyak orang tahu. Aku tak tahu lagi berapa umurku, apalagi cara mengukur satuan waktu. Seperti kucing di sampingku ini, setia.

 
Ditulis: Fanni Indra Pratama
















Tidak ada komentar :

Posting Komentar