Pukul empat sore hujan turun tanpa permisi yang sopan. Langit gelap sudah jauh terlihat sejak kami meninggalkan rumah, tapi sewajarnya manusia tamasya mantra harapan “Please, jangan hujan dulu.” Dirapal cepat-cepat sepanjang jalan. Beruntung, sayur asam sudah singgah di lambung. Ponakan juga baru saja melahap bubur racikan neneknya yang dipersiapkan sejak pagi. Tinggal separuh gelas es teh yang tersisa di meja, dicicip pelan-pelan demi menjaga manis di bibir.
Daun goyang-goyang kena rintik. Dalam satu peluk, ponakan
masuk dalam gendongan. Kubawa ia ke tepi sudut pintu arah selatan sambil
melihat anak-anak bermain hujan. Kulirik arah belakang, neneknya selesai
beberes alat makan, duduk menyender dan menghabiskan es teh. Dalam bisik
isyarat bibirnya bertanya “tidur?”
Kutengok sedikit arah bawah, ponakan terpejam dan nafasnya
pelan teratur.
Alhamdulillah.
Malam yang panjang untukmu Zea
Beruntung oom mu
seorang pembual
Malam itu kuceritakan
apa-apa saja
Yang kami bisa lihat
di teras
Sebab dinginnya hujan
menahan langkah
Kenapa ada hujan
Cicak yang tiada lelah
Berjalan di atap rumah
Suara jangkrik yang
rajin bikin bising telinga
Kutanya pada ponakanku,
“apa itu cinta?”
Awawawawawawawawa jawabnya
Lugas
Tapi kami mengerti
Ditulis: Fanni Indra Pratama