Engga bosan-bosannya mas menulis untukmu, tulisan penuh rindu untuk dirimu di sana. Tulisan ini sedikit berbeda dari biasanya. Tulisan untuk istriku di masa depan (berharapnya itu kamu, Felia) Ini mas menulis untuk kamu yang akan menemani mas sampai maut menjemput. Mungkin akan diingat lagi puluhan tahun kedepan. Untukmu, Felia, yang akan menjadi teman hidup mas sampai selamanya.
***
Sudah berapa lama kita hidup bersama? Dua puluh, empat puluh, atau sudah berapa puluh lagi yang tak mas ingat. Sudah berapa pertengkaran yang sudah kita selesaikan? Sehingga tangis dan amarahmu sampai tak bisa menenangkan badai-badai yang datang silih berganti. Akar mas tak cukup kuat, hati mas tak cukup kokoh, tenang mas tak cukup meneduhkan. Tapi mas tidak perlu khawatir, selama disebelah ada kamu, Istriku.
Berangkat pagi, pulang disaat gelap sampai lelah ini bosan hinggap, tapi kita gembira saja, happy aja, toh itu semua demi anak-anak kita. Ya, tentu kamu juga tahu, anak kita yang besar sudah mau menikah, sedangkan si bungsu sebentar lagi lulus kuliah. Betapa cepat waktu berlalu, dari dulu mereka masih bau bayi, hingga kini kaki mereka sudah cukup kuat untuk berpijak di bumi yang tidak sehat ini. Mereka berjalan dan menentukan langkah masing-masing untuk mencari apa yang mereka pengen. Itu semua juga karena bimbinganmu, Istriku.
Saat mas merasa capek dan badan mas sudah tidak kuat, pasti ada drama di keluarga kecil kita, kamu selalu menjadi objek frustasi mas. Marahan, cuek, hingga mas tak sadar mendiamkanmu untuk waktu yang lama. Iya, kamu semua yang menanggungnya, dengan batin sekuat baja, dengan tegar yang tak terpatahkan, dan dengan bakat aktingmu untuk berpura-pura tangguh, Istriku.
Senyummu itu, kurasa yang menjadi kompas kita, saat kapal ini mulai goyah dan kehilangan arah. Kekuatanmu adalah kemudi, dan sabarmu adalah janji dimana semua impian kita akan dan pasti bermuara. Do'amu adalah tiupan angin yang kuat dan menenangkan. Nafasmu itu berkat, yang telah Tuhan anugerahkan untuk mas dan kedua anak kita.
Tak ada kata sakit untukmu. Kamu tahan jahitan-jahitan sisa melahirkan, pernah sesekali kamu rubuh tapi dengan semangatmu berhasil kamu matikan semua sakit itu. Saat mas tergolek, maupun saat mas sakit, kamu selalu merawat mas dengan baik dan berjuang sendiri melawan apa yang nyata dan menyakitkan.
Umpatan cacian, gosip murahan teman dan sanak saudara, hingga perkataan yang menyakitkanmu, kamu telan semuanya bulat-bulat. Agar kapal ini masih punya kemampuan untuk bersandar. Benar begitukan, Istriku?
(Mas usap air mata yang tak henti mengalir ini, lalu lanjut menulis)
Tenanglah, tidak usah khawatir. Kamu juga tahu, kapal ini telah bersandar dan bertemu akhir petualangannya. Anak-anak sudah besar, dan mas yakin mereka bisa menjagamu dengan baik, dengan itu mas juga sudah bisa tenang.
Mas harap air matamu yang turun ke pipi itu tak jatuh lagi, mas harap jangan ada kesedihan lagi di antara kita. Ya, sudah cukup, Istriku. Kain kafan mas sebentar lagi akan bersatu dengan tanah, di mana manusia pertama kali diciptakan dari tanah, harus kembali ke tanah. Dan juga petualangan kita akan berakhir sebentar lagi.
Wajahmu tenang seperti biasanya, namun senyum itu terlihat sedikit pucat. Tersenyumlah, sayangku. Kamu tidak perlu khawatir, mas akan baik-baik saja di sini. Tidak perlu cemas, ada malaikat yang jagain mas di sini. Sekarang waktu yang tepat untuk pamitan ke kamu. Tugas mas sudah cukup sampai disini.
Oh, Aku punya satu permintaan terakhir:
Mas beharap, ketika mas telah dikuburkan tolong sampaikan pesan ini sama anak-anak kita, "Halo, Noah dan Near, saat kamu membaca surat ini bapak berharap kamu dalam keadaan baik. Bapak ada satu pesan untukmu dan adikmu, Near. Pesan bapak jangan pernah kamu sakiti ibumu, sayangi ibumu, penuhi janji-janji kamu sama ibu, jaga ibu baik-baik, jaga hatinya, jaga cintanya, jaga impiannya, trus berjuang sama ibu untuk menyelesaikan mimpi ibu yang belum terselesaikan. Dan kamu, Noah, kamu anak pertama, cowok, kamu punya tanggung jawab yang besar untuk menggantikan bapak di keluarga ini. Sekali lagi, jagain ibu dan adikmu ya. Bapak percaya sama kamu, itu saja pesan, bapak. Karna bapak orang pertama yang akan nanya ini ke dalam mimpimu, kalau kamu sampai menyakiti ibumu dan adikmu."
***
Felia, sayangku, badai-badai sudah mereda, tangismu tak lagi diperlukan, kapal ini sudah bersandar dan takkan lagi berlayar.
Sampai jumpa lagi, istriku. Mas akan selalu mencintaimu, selalu begitu.
Mas, pamit.
Ditulis: Fanni Indra Pratama