Aku menggerutu di jalan-jalan panjang, aspal kering yang riuh oleh pejalan. Pejalan yang menghabiskan keluh kesah dengan bersembunyi dari segala pekik di rumah jauh. Kalau boleh kubilang, kebohongan apa saja yang melelahkanmu tak akan mungkin membuatku kesah. Sebab telah kusaksikan sisa-sisa bathin manusia, yang bermuka dua dan berjejal dengki. Kebohongan tentang hidup hype yang dibikin rumit. Kendaraan lalu lalang di sepanjang tubuhku. Aku tak akan mengutuk temenku apalagi matahari. Doa-doa akan kubawa dalam diam, dalam ucapan yang kosong. Sehingga ketika menggerutu itu makin mendesah menjadi tangis bayi, kau tak akan membayangkan lagi bagaimana seseorang itu akan hamil. Aku adalah jalan dengan umur yang tak lagi kuhitung, seperti wajah-wajah itu pun, serta kurekam dalam kemuliaan. Dalam rekaman yang macam-macam. Mungkin saja mendung takkan datang di besok lusa tapi kesedihan tak akan pergi dari situ. Kota ini mungkin akan terus tumbuh, dan aku tak mungkin akan menyalahkanmu. Menyalak-nyalak seperti piaraan yang oren itu. Percayalah.
Cinta mungkin akan mempertemukan kita lagi. Malam dingin menciptakan teh panas yang pahit, barangkali tahu goreng dengan cabe rawit paling sempurna akan membawa ranjang kepada kita. Di sana kita akan menempelkan nama-nama negara dari dada sampai rongga-rongga yang membuatmu geli itu. Lalu akan kubisikkan satu mantra dalam cerita orang-orang dulu, teriakan yang menggetirkan cinta-cinta pujangga. Akan kutempelkan aku dalam dirimu, sampai kau mengerang aku, menjadi aku, menjadi jalan yang abadi.
Ditulis: Fanni Indra Pratama
Tidak ada komentar :
Posting Komentar