Setelah pulang kerja aku melihat langit sore, lama menatap langit, tampaknya sore ini pun tak lagi membawakan senja. Aku heran, kemana senja itu hilang? Bukankah dulu senja selalu datang?
Akupun melanjutkan perjalanan, berjalan di setapak yang selalu dilewati saat senja datang menemui. Aku mengingat moment dengan senja yang datang dengan senyuman, sesekali dia mendekap, hangat, dan ciuman itu. Manis, tak pernah terlupakan. Dihadapan lautan biru di depan pasir putih begitu muram, tak ada lampu jalan, hanya pohon yang daunnya mulai berguguran, berserakan.
Ada yang hilang dalam dirinya, sebuah bejana yang tempo hari senja bawakan, bejana yang membiru. "Marah setiap hari" begitu katanya, sambil tersenyum. Dan Ia kini kehausan.. Haus.. Bahkan ludahnya pun mengering..
Di hadapannya ada selembar kertas, dan pensil di tangan kanannya. "Kamu yakin akan mengatakan itu?" tanya dirinya yang lain. Dia diam. "Susah sekali mengerti perasaanmu" dia melanjutkan. "Aku tidak peduli” jawabnya.
Dilipatkan surat itu menjadi pesawat kertas. Dia menatap langit sore dalam-dalam, Dia lemparkan pesawat itu kuat-kuat. Terbang… Pesawat itu terbang menjauh dari keramain. Dia tidak tahu apa surat itu akan dibaca oleh senja atau malah ditemukan oleh pekatnya malam.. Lalu dibuang…
Dia tetap berjalan, melewati dedaunan berserakan, dahan pohon yang mengering. Dan sore yang tak lagi membawa senja..